MENU

Pembunuh Rangga yang Cegah Ibu Diperkosa Meninggal di Sel

Pembunuh Rangga yang Cegah Ibu Diperkosa Meninggal di Sel

Jambiflash.com -- Samsul Bahri (41), pembunuh Rangga (9) yang mencegah ibunya DA (28) diperkosa, meninggal di sel tahanan. Samsul tewas saat hendak dibawa ke rumah sakit.

Baca Juga : Cerita Dukun Cabul Yakinkan Warga Bisa Sembuhkan Corona, Korban 10 Perempuan

"Tadi malam sekitar jam 12 dia meninggal di ruangan sel," kata Kasat Reskrim Polres Langsa Iptu Arief Sukmo Wibowo saat dimintai konfirmasi wartawan, Minggu (18/10/2020).

Polisi menyebut, sehari sebelumnya, Samsul sempat dibawa ke rumah sakit karena dehidrasi setelah tidak mau makan-minum. Setelah menjalani pengobatan, dokter membolehkan Samsul dibawa pulang ke penjara.

Baca Juga : Pembunuh Rangga Pahlawan Cilik Mengeluh Sesak Napas Sebelum Tewas di Penjara

"Menurut teman satu selnya dia memang tidak mau makan dan minum," jelas Arief.

Tadi malam Samsul rencananya bakal dibawa kembali ke rumah sakit. Namun polisi menemukan residivis kasus pembunuhan itu sudah meninggal dunia.

Baca Juga : Takut Kakaknya Dicerai, Siswi SMP Pasrah Dirudapaksa Ipar

"Dokter belum memberikan keterangan penyebab dia meninggal. Kita mau melakukan autopsi tapi keluarga menolak," ujar Arief.

Sumber : News.detik.com


Cerita Dukun Cabul Yakinkan Warga Bisa Sembuhkan Corona, Korban 10 Perempuan



Cerita Dukun Cabul Yakinkan Warga Bisa Sembuhkan Corona, Korban 10 Perempuan

Jambiflash.com - Praktik dukun cabul Sukardi di Jatiuwung, Kota Tangerang, yang mengaku bisa menyembuhkan pasien Corona, dibongkar polisi.

Alih-alih mengobati pasiennya, Sukardi malah mencabulinya. Bagaimana Sukardi bisa meyakinkan para korban bahwa dia bisa menyembuhkan pasien dari segala penyakit, termasuk Corona?

Baca Juga : Takut Kakaknya Dicerai, Siswi SMP Pasrah Dirudapaksa Ipar

"Dari mulut ke mulut aja awalnya. Sebenarnya sih gini, secara perkataan itu dia hanya ngomong, 'Saya bisa menyembuhkan semua penyakit, tidak hanya Corona'," kata Kapolsek Jatiuwung Kompol Aditya Sembiring dihubungi wartawan, Sabtu (17/10/2020).

Warga pun kemudian tertarik berobat alternatif kepada tersangka. Menurut Aditya, banyak warga yang minta dipijat oleh tersangka agar bisa sembuh penyakitnya, termasuk dari virus Corona.

"Dia memberikan rangkaian kata-kata ke masyarakat, sehingga masyarakat itu tertarik untuk berobat atau diobati sama dia," katanya.

Aditya menambahkan pihaknya saat ini masih mendalami bagaimana modus Sukardi hingga bisa menjerat para korbannya itu.

Baca Juga : Parah! Ayah Ini Cabuli Putrinya Sejak SD Hingga SMA

"Secara kata-kata masih dalami secara faktual ya bagaimananya. Karena korban yang 10 orang itu kan tidak mungkin kita periksa 1 orang 1 hari ya. Nanti kita dalami kata-katanya itu," terang Aditya.

Hingga saat ini sudah 10 orang perempuan menjadi korban pencabulan Sukardi. Pria yang bekerja sebagai sopir angkot ini mengaku bisa menyembuhkan pasien Corona dengan cara merendam pasien ke air rendaman beras.

Kasus ini masih terus didalami oleh pihak kepolisian. Polisi hingga kini masih menyelidiki kemungkinan adanya korban lain dari lokasi berbeda terkait praktik dukun cabul tersebut.(red)

Sumber : News.detik.com

Jurnalis, Bolehkah Berpihak?

Jurnalis, Bolehkah Berpihak?

Oleh: Jogi Sirait

Saya kaget membaca sebuah berita, salah seorang ketua organisasi wartawan mengenakan jaket pada salah satu kandidat dalam Pilgub Jambi. Apakah itu bentuk dukungan politik, ya jelas. Soalnya, sang ketua datang dan membawa embel-embel organisasi. 

Musim pilkada ini memang memicu banyak pihak untuk terlibat, entah itu menjadi tim sukses atau menyatakan dukungan politik. Bahkan, secara tiba-tiba bermunculan organisasi baru ataupun media baru menjelang musim pilkada. Ironis ya?

Menjelang musim pemilu pada 2019 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan seruan mengenai independensi jurnalis, termasuk di media sosial. Salah satu poinnya adalah agar jurnalis menjaga independensi, yaitu dengan berhati-hati menyatakan pendapat di media sosial, termasuk pendapat mengenai calon tertentu, yang bisa membuat independensinya dipertanyakan.

Wartawan memang menjadi profesi yang dilarang terlibat dalam politik praktis. Kalau mentor saya, Andreas Harsono bahkan menyebut bahwa idealnya seorang jurnalis itu adalah makhluk asosial. Tidak mencari kawan dan tidak pula mencari lawan. Sungguh berat, etika yang harus dijaga, bukan?

Lalu apakah jurnalis atau media boleh berpihak? Ya tentu saja boleh. Eko Maryadi ketika menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen Eko Maryadi pada tahun 2014 menyatakan media boleh berpihak, tapi keberpihakan tersebut hanya memiliki satu nilai, yaitu kebenaran. "Kebenarannya adalah kebenaran jurnalistik, kebenaran berdasar fakta," kata Eko.

Menurut Eko, kebenaran merupakan nilai yang harus terus disuarakan, meski pada akhirnya tidak akan menyenangkan bagi semua pihak. Dalam koridor semacam ini, jelas jika seorang jurnalis perlu berpihak.

Mengekspresikan dukungan politik di media sosial adalah biasa bagi publik luas, namun tidak bagi jurnalis. Sikap partisan jurnalis di media sosial akan memperparah ketidakpercayaan publik pada media yang terbelah oleh polarisasi politik.

Bayangkan, apa yang ada dalam benak pembaca, pemirsa, atau pendengar, jika mengetahui bahwa produk jurnalistik yang mereka nikmati merupakan hasil tulisan jurnalis yang amat transparan menampakkan kecenderungan dukungan pada seorang tokoh politik atau kelompok politik tertentu?

Sialnya, inilah yang terjadi. Dewasa ini, jurnalis makin terbuka untuk “berkicau” mengenai tokoh politik pilihan di akun media sosialnya. Ada pula yang sampai membuat “kultwit” (twit berseri di Twitter). 

Tidak sedikit juga yang tak canggung mengunggah swafoto menampilkan kebersamaannya dengan salah satu tokoh politik, lengkap dengan keterangan foto yang mencerminkan dukungan kepada si tokoh. 

Seorang jurnalis harus menjaga muruahnya selama dia masih berprofesi sebagai seorang jurnalis. Jayeon “Janey” Lee, Asisten Profesor di Departemen Jurnalisme dan Komunikasi di Lehigh University, membuat studi mengenai bagaimana interaksi jurnalis di media sosial mempengaruhi persepsi pembaca. 

Hasilnya, meski jurnalis yang intens berinteraksi di media sosial dinilai positif secara personal, ia juga dinilai negatif secara profesional. Studi tersebut menunjukkan, bahwa menunjukkan preferensi, keberpihakan, dan opini personal di media sosial dapat membuat jurnalis dinilai kurang profesional. Maka, hal ini menjadi pelajaran baik bagi reporter maupun editor untuk tidak mengekspresikan opini pribadi yang berisiko mengancam kepercayaan pembaca.

Sadar akan hal ini, beberapa media di Amerika Serikat membuat pedoman bagi jurnalisnya dalam penggunaan media sosial. The New York Times misalnya, mengubah pedoman penggunaan media sosial bagi jurnalisnya pada 2017 lalu. Pedoman tersebut menekankan agar jurnalis tidak boleh mengungkapkan pendapat partisan, mempromosikan pandangan politik, mendukung kandidat, dan memberi komentar. Beberapa media di Indonesia pun kini mengikuti langkah yang dilakukan The New York Times.

Apakah dampak negatif ini berarti bahwa jurnalis tidak boleh berpendapat di media sosial? Hal ini tentu tidak masuk akal. Jurnalis tentu boleh menyatakan sikap politiknya. Yang tidak boleh adalah menanggalkan profesinya. 

Pasalnya, profesi jurnalis bukanlah profesi yang berhenti selepas jam kerja. Profesi ini menuntut mereka yang menekuninya untuk terus menjaga nilai-nilai independensi tidak peduli ruang dan waktu. Karenanya, bukan soal jurnalis berkoar di media sosial atau tidak, melainkan cara bagaimana ia berkoar.

Sikap dan pandangan politik bukanlah melulu soal deklarasi diri bahwa “saya pilih si A,” “saya dukung si B,” atau “mari kita kawal si C.” Keberpihakan bukan sekadar memiliki kecenderungan terhadap individu atau golongan, yang tergabung dalam sebuah organisasi politik. 

Sebagaimana produk jurnalisme mesti dipisahkan dari favoritisme, begitu juga sikap dan komentar jurnalis di media sosial. Bagaimana caranya? Dengan mengkritisi kebijakan. Ini yang kadang terlupa, atau mungkin dilewatkan. Jurnalis dituntut untuk skeptis, dan selalu menguji kebijakan yang dibuat penyelenggara kekuasaan. Bukan ikut jadi “tim hore” penguasa atau oposisi, menyembah tokoh penguasa, dan sebaliknya.

Sikap kritis terhadap kebijakan, bukan kepada orang atau kelompok, menjadi penting karena ia membedakan jurnalis dengan buzzer. Selaras dengan itu, meski opini jurnalis dilakukan di media sosial, bukan berarti data dan fakta tidak diperlukan. Opini yang berbasis data dan fakta inilah ekspektasi minimal publik dari seorang jurnalis.

Makanya saya heran bahkan cenderung geli jika melihat seorang jurnalis – sekalipun di media sosial – dengan bangganya memamerkan dirinya mengenakan jaket salah satu partai politik. Apalagi jika seorang ketua organisasi wartawan datang ke rumah salah satu kandidat dan memberikan jaket organisasi tersebut. 

Saya pikir, dia tak layak ketua. Itu sungguh bukan contoh yang baik.

*Jurnalis, tinggal di Jambi

Postingan Populer